SultraLink.com, Unaaha – Pemilihan umum (pemilu) merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang merupakan kehendak mutlak bagi negara yang menganut ideology demokrasi, salah satunya di Indonesia. Pemilu di Indonesia mulai dilaksanakan sejak 1959, dan selanjutnya terus berjalan kontinuitas setiap lima tahun. Sejak saat itu system penyelenggaraannya terus ditata secara berkala dan berkualitas dari waktu-ke waktu, berjalan relevan sesuai dengan tuntutan dan kondisi saat ini.
Tahun 2024 mendatang, seluruh masyarakat di Indonesia akan kembali menggelar pemilu. Bahwa menjadi hal yang baru, karena untuk pertama kalinya dalam sejarah di Indonesia, pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) dihelat serentak di tahun yang sama. Terkait dengan itu, banyak kalangan beranekdot bahwa system tata kelola pemilu yang dijalankan saat ini banyak menguras energy dan paling rumit dan sulit, membuat para penyelenggara akan kesulitan menjalankan teknis tahapannya utamanya di level adhock, namun menurut penulis, hal ini adalah sinyalemen klise terhadap mindset masyarakat awam.
Bahwa dalam system tata kelola kepemiluan di Indonesia saat ini sedang mengalami kemajuan pesat. Dimana problem krusial yang menjadi tantangan dan hambatan kedepan, yang kerap menjadi kendala pada pemilu-pemilu sebelumnya sudah dapat terminimalisir. Hal ini atas kemajuan tata kelola kepemiluan yang sudah meninggalkan cara manual, tetapi sudah termodifikasi, dimana dalam pelaksanaan tahapan teknis pemilu telah terintegrasi dengan bantuan perangkat teknologi pemilu.
Dengan inovasi oleh sistim perangkat digitalisasi ini, maka outputnya telah berimplikasi terhadap kerja-kerja kepemiluan oleh penyelenggara pemilu. Pola kerja ini diterapkan sebagai wujud perbaikan tata kelola kepemiluan yang lebih baik, supaya tercipta asas efektifitas dan efisiensi serta transparansi dalam penyelenggaraan pemilu. Parameter itu menjadi salah satu dasar bahwa penyelenggaraan kepemiluan di Indonesia akan berjalan konstitusional sesuai dengan amanah perundang-undangan. Serta outputnya dapat menghasilkan perwakilan rakyat yang ideal baik di level eksekutif maupun legislative.
Namun terkait dengan itu, bahwa di balik dari kemajuan dan perbaikan tata kelola kepemiluan yang sukses dibenahi oleh penyelenggara. Ternyata masih ada tantangan lain yang masih perlu diwaspadai. Bahwa “PR” penyelenggara pemilu tidak sekedar menuntaskan masalah internal, seperti tata kelola kerja, tetapi masalah eksternal harus menjadi perhatian serius, seperti menjaga citra penyelenggara. Karena rusaknya citra tersebut akan menghilangkan esensi penyelenggara sebagai lembaga yang bekerja mandiri, dan imbas dari itu angka partisipasi pemilih menjadi taruhannya.
Pasalnya, penyelenggara pemilu sebagai pelaksana teknis pemilu akan menjadi sasaran utama oleh kelompok oportunis, yakni golongan yang menghalalkan segala cara merebut kekuasaan dengan cara yang tidak lasim. Cara kerja untuk membangun opini atas mosi tidak percaya kepada penyelenggara ini sudah mulai nampak, seiring dengan mulai berjalannya tahapan pemilu, yakni masifnya serangan berita hoax di sarana-sarana sosial, yang mulai menyudutkan kinerja penyelenggara.
Bukan hal yang sepeleh, karena isu hoax merupakan bentuk kejahatan di bidang dunia informasi dan mudah memprovokasi. Apalagi di era perkembangan teknologi saat ini, dimana mayoritas masyarakat di Indonesia tercatat sebagai pengguna media sosial terbesar. Faktanya fenomena saat ini dimana hoax mulai menguasai sarana informasi, serta menjadi wabah di ruang-ruang publik. Bahkan hoax dengan cepat menyebarkan informasi kepada khalayak umum serta dengan mudah merubah pendapat umum. Artinya, hoax sengaja didesain dengan terstruktur, sistematis dan massif. Tujuannya untuk merusak tatanan sosial di masa tahun politik ini.
Senada dengan hal itu, penegakan demokrasi di Indonesia menjadi tujuan utama diselenggarakannya pemilu setiap 5 tahun, sebagaimana dengan amanat UUD 1945 Pasal 22E. Bahwa dalam teknis pelaksanaan pemilu diselenggarakan secara mandiri oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan diawasi oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Selain itu pula terdapat lembaga penyelenggara pemilu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai dewan yang menjaga etika penyelenggara KPU dan Bawaslu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Bahwa ke tiga lembaga penyelenggara pemilu yang berintegritas ini hadir menjadi tiang utama dari amanah rakyat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya menjaga hak konstitusional, namun itu bukanlah jaminan. Bahwa citra ini bisa berkamuflase menjadi negative. Atas ulah para provokator bangsa yang dapat merubah mindset masyarakat, melalui isu-isu hoax yang dapat berdampak terhadap turunnya nilai independensi para penyelenggara itu sendiri di mata publik, meski para penyelanggara pemilu sudah menjalankan tugasnya sesuai prinsip demokrasi dan perintah perundang-undangan.
Sebenarnya apa yang diharapkan dari eksploitasi berita hoax ini? Dalam situasi ini, berita hoax sebenarnya sengaja didesain oleh kelompok tertentu, sasarannya untuk mempengaruhi opini negative publik sehingga dapat mempengaruhi situasi politik pada saat pelaksanaan tahapan pemilu berjalan. Sedangkan yang menjadi objek penyebaran berita hoax ini adalah mosi tidak percaya publik terhadap penyelenggara pemilu. Karena tujuan utama yang diharapkan pada situasi ini yakni terjadinya eskalasi konflik dan kerusuhan pasca pemilu, manakalah tujuan kepentingannya tidak tercapai. Atas dasar itu, hoax mengancam disintegritas dan harus segera diperangi bersama, olehnya perlu kerja kolektif semua stakeholder.
Bahwa dalam bingkai demokrasi di Indonesia terdapat pilar demokrasi, dan salah satu pilar demokrasi itu adalah Pers. Kehadiran pers menjadi instrument vital untuk menguatkan penegakan demokrasi di Indonesia. Kedudukan Pers dalam negara ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Kegiatan jurnalistik sendiri merupakan kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik dengan menggunakan berbagai jenis saluran media yang tersedia.
Kedudukan pers dalam mengahadapi situsasi ini akan sangat penting. Pers sebagai the fourth estate harus tetap teguh terhadap kebenaran, yang harus dapat diandalkan menangkal isu-isu hoax tersebut. Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, pasal 6 yaitu Pers harus memenuhi hak masyarakat unutuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum dengan menyampaikan informasi yang akurat dan tepat. Dasar inilah yang kemudian menjadi bagian terpenting bagi pers dalam menangkal isu hoax pada pemilu 2024 nanti.
Harapan masyarakat atas keresahan isu hoax ini berada dipundak para insan pers. Thomas Jefferson dalam tulisannya mengatakan bahwa “Pers adalah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia sebagai makhluk rasional, moral dan sosial”.
Publik telah menyandarkan keyakinannya pada pers untuk tetap kokoh dan menjadi benteng terkuat dalam memerangi isu hoax , menjastis negatif kredibilitas penyelenggara, yang dapat menggangu stabilitas politik dan keamanan pada pemilu 2024. Publik yakin bahwa pers yang dapat mereduksi isu hoax melalui fakta-fakta jurnalis. Karena insan pers sejati tidak akan pernah mau membiarkan keadaan ini akan terus berlanjut. Pers harus mampu tegak mejaga keutuhan demokrasi. Mengawal dan mengawasi segala macam ketimpangan, termasuk diantaranya menjaga marwa pemilu 2014 yang tahapannya sedang berjalan saat ini.
Penulis: Irman, S.Pd / Jurnalis
Laporan : Febri
Leave a Reply